Rabu, 15 Februari 2012

"Garis Batas" (Rekomendasi Buku Petualangan)


Judul Buku : Garis Batas
Penulis : Agustinus wibowo.
Editor : Hetih Rusli
Tebal : 510 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Harga : Rp. 96.000, 00

Penduduk desa Afghan setiap hari memandang ke "luar negeri" yang hanya selebar sungai jauhnya. Memandangi mobil-mobil melintas, tanpa pernah menikmati rasanya duduk dalam mobil. Mereka memandangi rumah-rumah cantik bak vila, sementara tinggal di dalam ruangan kumuh remang-remang yang terbuat dari batu dan lempung. Mereka memandangi gadis-gadis bercelana jins tertawa riang, sementara kaum perempuan mereka sendiri buta huruf dan tak bebas bepergian.


Garis batas seperti halnya gravitasi bumi dan oksigen, garis batas tidak terlihat, namun setiap langkah dan embusan napas kita dipengaruhi olehnya. Pola pikir kita, uang yang kita pegang, bendera yang berkibar, kebanggaan yang melingkupi hati, sejarah yang kita kenang, saudara/i yang kita sebut sebagai sebangsa, kartu identitas, pendidikan, status, ideologi, nasionalisme, patriotisme, perjanjian, traktat, perang, pembantaian etnis, kehancuran, semuanya adalah produk dari garis batas.

Ada garis batas fisik, ada garis batas mental. Ada yang sementara, ada yang abadi. Garis batas geografis, sosial, biologis, status, gender, privasi, mental, spritual, agama … semua memisahkan manusia dalam kotak masing-masing. Garis batas mengurung, memasung, melindungi dan mengukuhkan sebuah zona aman – tempat individu merasakan kelegaan dan kenyamanan.

Bangsa-bangsa punya zona aman masing-masing, dilindungi oleh batas negeri. Seringkali, pertumpahan darah tak terelakan hanya demi goresan garis-garis di atas peta. Inilah perjalanan hidup manusia! Sejak lahir, manusia bertumbuh, berjuang, bekerja demi kemapanan, bertarung hingga datangnya akhir hayat. Sejak awal peradaban manusia, mulai dari kehidupan primitif di goa, para pemburu di hutan, kaum nomad di padang rumput, takhta raja-raja berdarah biru, benteng-benteng dan tembok raksasa, hingga republik modern, zona aman semakin kokoh dan berstruktur. Bangsa-bangsa berperang, bernegosiasi, berdiplomasi, bersekutu, berseteru, bertikai lagi, hingga akhirnya hancur lebur, semua terkait urusan zona aman, melindungi batas-batas dan kebanggaan mereka.


Garis batas adalah kodrat manusia. Tanpa disadari, kita adalah seonggok tubuh yang selalu membawa garis batas portabel kesana kemari. Garis batas menentukan dengan siapa membuka hati, dengan siapa menutup diri.

Di hadapan orang yang sama sekali asing, kita mengalihkan pandangan. Ketika berada di keramaian, kita membaca buku atau menerawang pandangan kosong. Ketika seorang tak dikenal menyentuh, kita merasa tidak nyaman. Namun ketika yang membelai adalah kekasih, kita menerima dengan senang hati. Diantara kawan-kawan dan handai taulan, kita membagi-bagi dalam spektrum katagori : akrab sekali, hubungan biasa, kawan jauh, hingga orang luar. Melalui garis batas, kita meraba dunia luar. Melalui garis batas, kita berlindung dari dunia luar.

...

Buku garis batas adalah buku serial petualangan yang paling saya suka. Tak seperti buku serial petualangan lainnya. Garis batas mengajak saya melihat dunia dengan kaca mata baru. Agsutinus tak hanya mengajak para pembacanya menikmati kedaiaman padang hijau gembala, keponggahan gunung salju, kesunyian danau mati, kerasnya terik gurun pasir, gemilau emas negeri-negeri tetapi ia juga membawa kita menelusuri khazanah sejarah, keberagaman budaya, dan gaung Islam di Asia Tengah. Tentang bagaimana sang penguasa Rusia memecah belah Asia tengah untuk mencegah persatuan kekuatan Islam di Asia tengah menjadi negara-negara baru yang terkotak-kotakan garis batas negara. Tentang bagaimana negeri-negeri baru tersebut mencari identitas keislamannya setelah puluhan tahun dilindas komunisme unisoviet. Agustinus sendiri bukanlah seorang muslim. Akan tetapi, hal ini jugalah yang menjadi bagian menarik dari buku ini. Membuat kita mampu melihat sejarah dan perkembangan islam yang mengislamkan dari sudut pandang yang lebih objektif.

Garis batas kaya akan sastra, sosiologi, dan antropologi namun di kemas dalam bahasa yang ringan tetapi padat dan berisi. Segala emosi bercampur seiring dengan perjalanan yang menciptakan banyak warna. Kemelut, haru, tangis, perjuangan, kejenuhan, dan beragam humor yang sering membuat saya tertawa terpingkal-pingkal membaca bukunya.

Bacalah bukunya! kamu akan menemukan hakikat baru sebuah perjalanan yang memanusiakan manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar